Pendekatan pembelajaran saintifik merupakan salah satu pendekatan pembelajaran
yang menekankan pentingnya penggunaan proses berfikir ilmiah sesuai dengan
tingkat perkembangan anak. Peserta didik didorong untuk mencari tahu dari
berbagi sumber informasi, bukan hanya diberi tahu. Untuk itu, mereka dilibatkan
dalam proses pembelajaran melalui pengamatan, menanya, mencoba, menalar, dan
mengkomunikasikan (5M).
Untuk memudahkannya, langkah-langkah pembelajaran yang
sejalan dengan semangat pendekatan saintifik (scientific approach) dinamakan
dengan 5M. Berdasarkan pengamatan dalam forum itu, terlihat penerapan
pendekatan saintifik belum begitu tampak menonjol. Mungkin mereka masih belum
terbiasa dengan menekankan pentingnya mendorong peserta didik terlibat dalam
proses mencari tahu, sampai mereka dapat menyimpulkan atau menemukan
pengetahuan sendiri dari tema yang sedang dipelajarinya (inquiry or discovery learning).
Sungguh pun begitu, para peserta pelatihan relatif sudah mampu menerapkan
pembelajaran yang menyenangkan, atau apa yang dikenal dengan pembelajaran PAKEM
(Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Selingan berupa
nyanyian atau permainan sudah muncul, tepuk tangan meriah di sela-sela
pembelajaran juga sudah tampak. Ucapan bagus, pinter, hebat, dan sejenisnya
yang memotivasi juga terlihat dalam proses pembelajaran.
Beberapa media seperti
gambar, bola mainan, tumbuhan, poster, media tempel dan semacamnya juga sudah
diperagakan. Namun, terkadang pembelajaran masih belum
menunjukkan proses pembelajaran saintifik secara optimal. Sebagian guru masih
menekankan transfer pengetahuan (memberi tahu), hal ini terlihat dari pertanyaan-pertanyaan
yang muncul dalam kelas yang sebagian besar masih menekankan pertanyaan apa
(what), bukan mengapa (why) dan bagaimana (how). Padahal yang diharapkan,
peserta didik tidak saja tahu apa (ranah kognitif), tetapi juga tahu mengapa
(ranah afektif), dan tahu bagaimana (ranah psikomotor) dengan proses
pembelajaran yang “memberdayakan”. Belajar model demikian, mengharapkan produk
lulusannya dapat menghasilkan insan yang produktif, inovatif, kreatif, dan
afektif yang di dalamnya mencakup penguasaan aspek pengetahuan, sikap dan
keterampilan secara terpadu dan seimbang, baik aspek soft skill maupun hard
skill. Ringkasnya, pendidikan dapat menghasilkan manusia cerdas dan
berkarakter.
Penerapan pendekatan pembelajaran saintifik, meniscayakan
kehadiran guru yang tidak saja sabar dan telaten, tetapi juga cerdas dan
kreatif berkolaborasi dengan peserta didik untuk menciptakan kondisi
pembelajaran yang memunginkan mereka mampu merumuskan masalah dengan baik. Para
guru diharapkan mampu menfasilitasi peserta didik berlatih berfikir analitis,
bukan berpikir mekanis. Melalui pertanyaan mengapa dan bagaimana, peserta didik
dirangsang untuk dapat menyelesaikan masalah melalui proses yang lebih panjang.
Mereka diajarkan bagaimana menarik kesimpulan, bukan hanya menerima pengetahuan
(transfer of knowledge) dengan cara mekanis seperti mendengarkan atau
menghafal. Hal ini bukan berarti kegiatan mendengarkan ceramah dan menghafal
itu tidak penting, namun yang hendak saya katakan adalah proses berfikir ilmiah
penting ditonjolkan dalam proses pembelajaran, karena pengetahuan itu bukan
dogma, namun pengetahuan itu terkait erat dengan aktivitas ilmiah. Cara kerja
ilmiah, sudah barang tentu mengikuti prinsip-prinsip berfikir ilmiah, apakah
itu bersifat induktif atau deduktif. Untuk itulah, agar penerapan 5M dapat
diterapkan secara efektif baik oleh para guru atau siapapun yang kegiatannya
berhubungan dengan aktivitas pembelajaran, akan saya sharing pengalaman itu.
Hal ini sama sekali saya bukan bermaksud menggurui loh. Baiklah, kelima langkah
proses pembelajaran saintifik itu dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Langkah ke-1: Mengamati (observing).
Mengamati berkaitan dengan aktivitas panca
indera manusia yang dianugerahkan oleh Tuhan untuk mengamati obyek belajar
secara bermakna (meaningfull learning). Karena itu, untuk memudahkan
pembelajaran, di awal kegiatan pembelajaran dipandang penting untuk
mendemonstrasikan obyek belajar yang menarik dan bermanfaat, tentu dipilih
obyek belajar yang relevan dengan tema belajar. Obyek itu tidak harus mewah
atau mahal, sederhana asalkan mudah digunakan dan menarik. Obyek belajar
sebaiknya yang menantang peserta didik untuk bertanya dan merangsang rasa ingin
tahu mereka. Peserta didik diberi kesempatan terlibat untuk melakukan
pengamatan (observasi) melalui panca inderanya, seperti mengamati gambar
animasi, menyentuh obyek tiruan model bagian tubuh manusia (torso), mengamati
aneka jenis dedaunan di halaman sekolah, mengamati transaksi jual beli di
kantin sekolah, mengamati aktivitas petani, peternak, polisi, pasar, tumpukan
sampah, dan masih banyak lagi. Jika obyek atau fenomena yang diamati sulit
dijangkau, dapat digunakan model tiruannya, bisa dirupakan dalam bentuk rekaman
video-audio, gambar animasi, globe, dan lain sebagainya. Cara penyajiannya bisa
menggunakan model perbandingan. Katakanlah peserta didik diminta untuk
mengamati dua gambar/foto. Satu gambar menampilkan foto mushalla yang kotor dan
satunya lagi menampilkan foto mall yang bersih. Dengan mengamati dua gambar
yang kontras, diharapkan muncul sejumlah pertanyaan kritis dan rasa ingin tahu
untuk belajar mempelajarinya.
Langkah ke-2: Menanya (Questioning).
Kemampuan
bertanya yang baik merupakan indikasi bahwa kemampuan verbal seseorang telah
berkembang dengan baik. Acapkali, jawaban yang baik karena dirangsang oleh
pertanyaan yang baik. Karena itu, keberanian dan kemampuan bertanya penting
untuk ditumbuhkembangkan. Setiap pertanyaan, akan mendorong munculnya respon
balik berupa tanggapan verbal, baik oleh guru atau peserta didik secara
kreatif, bahkan mungkin guru tidak menyangka akan mendapatkan jawaban baru yang
mengkayakan dari para peserta didiknya. Misalnya pertanyaan: “Mengapa bensin
(premium) selalu habis meskipun harganya naik?, atau “mengapa ada orang miskin
dan ada orang yang kaya?. Selain untuk membangkitkan rasa ingin tahu, bertanya
berfungsi untuk melatih peserta didik berargumentasi sesuai dengan
kapasitasnya, belajar menerima perbedaan pendapat, merangsang peserta didik
untuk berpikir ulang, dan sekaligus belajar bagaimana sopan santun dalam
bertanya atau merespon pertanyaan dengan baik.
Langkah ke-3: Mencoba
(Experimenting)
Hasil belajar akan terekam kuat dalam memori peserta didik,
apabila mereka diberi kesempatan untuk melakukan, mencoba, atau mengalami. Hal
ini tentu sangat berbeda dengan hasil belajar karena sekedar mendengarkan atau
diberitahu oleh orang lain. Perbuatan mencoba itu dapat diwujudkan dalam bentuk
kegiatan eksperimen. Misalnya, peserta didik diminta untuk melakukan pengukuran
terhadap perbedaan kecepatan perputaran kipas angin yang terbuat dari bahan
kertas tipis, kertas karton, seng, atau benda lain di halaman sekolah. Dengan
melakukan percobaan semacam itu, selain peserta didik merasa senang, mereka
dapat belajar sambil mengalami. Sudah barang tentu, setiap percobaan perlu
dipersiapkan sebelum pembelajaran berlangsung dan dirumuskan dengan baik dalam
dokumen Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Membuat RPP adalah tugas guru,
bukan tugas pemerintah yang terkait dalam bidang pendidikan nasional. Mengapa?
Karena gurulah yang paling tahu situasi dan kondisi sekolah masing-masing, jadi
RPP tidak perlu distandarkan, kecuali hanya prinsip-prinsip atau
komponen-komponen penting RPP-nya.
Langkah ke-4: Menalar (associating).
Menalar
dalam pengertian ini adalah padanan dari istilah associating dalam bahasa
Inggris, bukan kata reasoning. John M. Echols dan Hasan Shadily (1995: 469)
dalam bukunya Kamus Inggris-Indonesia menerjemahkan kata reasoning dengan
pemikiran atau pertimbangan. Namun penalaran yang dimaksudkan di sini lebih
dekat dengan padanan dari kata “associating”, yang merujuk pada teori belajar
asosiasi (pembelajaran asosiatif). Sebuah Modul Pelatihan Kurikulum 2013
menjelaskan, bahwa esensi istilah asosiasi ini merujuk pada kemampuan
mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa yang kemudian
mamasukkannya menjadi penggalan memori (Kemendikbud, 2013: 215).
Pengalaman-pengalaman yang tersimpan di memori otak itu berelasi atau
berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses inilah
yang dikenal sebagai asosiasi atau menalar. Bagaimana mempraktikkannya? Peserta
didik dilatih untuk menghubungkan antara satu obyek/kejadian dengan
objek/kejadian lain, sehingga hubungan antara beberapa variabel menjadi jelas,
baik bersifat induktif atau deduktif. Misalnya penalaran induksi sebab-akibat
seperti: “berusaha keras, berdo’a, dan tidak berputus-asa, adalah faktor-faktor
pendorong kesuksesan hidup seseorang”.
Langkah ke-5: Mengkomunikasikan
(Communicating)
Dalam bentuk sederhana, mengkomunikasikan berarti
mempresentasikan atau menunjukkan hasil pekerjaannya kepada publik, secara
lisan atau tulisan, atau bentuk karya lain sehingga mendapat respon yang lebih
luas. Dalam ruang terbatas, peserta didik cukup menyajikan kesimpulan hasil pekerjaannya
di hadapan teman-temannya di dalam kelas. Seiring dengan kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi, para guru dapat memanfaatkan kecanggihan itu untuk
mengkomunikasikan karya-karya terbaik peserta didiknya di dunia maya, sehingga
bisa direspon oleh pembaca yang lebih luas. Misalnya, karya mereka
dipublikasikan di Blog, menarik dan bermanfaat bukan?.
Pendekatan saintifik, merupakan salah satu pendekatan
pembelajaran yang mendorong untuk menghasilkan mutu lulusan yang produktif,
inovatif, kreatif dan berkarakter. Semoga bermanfaat!.
Salah satu kunci utama
keberhasilan pendidikan di Indonesia adalah terletak pada kualitas
pendidik atau gurunya dengan kurikulum sebagai seperangkat desain
penunjangnya. Seberapa baik kurikulum, namun jika gurunya tidak mampu
menerapkannya dengan baik, maka tujuan kurikulum sulit tercapai. Karena
itu, perlu penguatan di lapangan tentang penerapan regulasi pendidikan
yang menuntut setiap guru memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi
pedagogik, profesional, kepribadian dan sosial.
Tulisan ini hendak mendekripsikan bagaimana kompetensi guru dalam aspek
pedagogik dipraktikkan di dalam proses pembelajaran. Kebetulan pada hari
itu (1/9/2015), saya diminta menjadi instruktur dalam kegiatan Peer
Teaching Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) di Hotel Asida, Kota
Batu Malang. Kegiatan itu diselenggarakan oleh salah satu perguruan
tinggi negeri di Jawa Timur yang berperan sebagai salah satu Lembaga
Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) di wilayahnya.
Berdasarkan pengalaman itu, tulisan ini saya fokuskan pada pendekatan
pembelajaran saintifik setelah mengamati praktik para guru kelas di
forum itu, ketika mereka menerapkan proses pembelajaran dengan langkah
5M (Mengamati, Menanya, Mencoba, Menalar, dan Mengkomunikasikan).
Implementasi Pendekatan Saintifik
Di kelas F3 yang saya dampingi, ada 11 peserta sedang berlatih mengajar
dengan pendekatan saintifik secara bergantian. Pendekatan pembelajaran
saintifik merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang menekankan
pentingnya penggunaan proses berfikir ilmiah sesuai dengan tingkat
perkembangan anak. Peserta didik didorong untuk mencari tahu dari
berbagi sumber informasi, bukan hanya diberi tahu. Untuk itu, mereka
dilibatkan dalam proses pembelajaran melalui pengamatan, menanya,
mencoba, menalar, dan mengkomunikasikan. Untuk memudahkannya,
langkah-langkah pembelajaran yang sejalan dengan semangat pendekatan
saintifik (scientific approach) dinamakan dengan 5M.
Berdasarkan pengamatan dalam forum itu, terlihat penerapan pendekatan
saintifik belum begitu tampak menonjol. Mungkin mereka masih belum
terbiasa dengan menekankan pentingnya mendorong peserta didik terlibat
dalam proses mencari tahu, sampai mereka dapat menyimpulkan atau
menemukan pengetahuan sendiri dari tema yang sedang dipelajarinya
(inquiry or discovery learning).
Sungguh pun begitu, para peserta pelatihan relatif sudah mampu
menerapkan pembelajaran yang menyenangkan, atau apa yang dikenal dengan
pembelajaran PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan
Menyenangkan). Selingan berupa nyanyian atau permainan sudah muncul,
tepuk tangan meriah di sela-sela pembelajaran juga sudah tampak. Ucapan
bagus, pinter, hebat, dan sejenisnya yang memotivasi juga terlihat dalam
proses pembelajaran. Beberapa media seperti gambar, bola mainan,
tumbuhan, poster, media tempel dan semacamnya juga sudah diperagakan.
Namun, para guru yang tampil dalam forum itu, masih belum menunjukkan
proses pembelajaran saintifik secara optimal. Sebagian guru masih
menekankan transfer pengetahuan (memberi tahu), hal ini terlihat dari
pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam kelas yang sebagian besar masih
menekankan pertanyaan apa (what), bukan mengapa (why) dan bagaimana
(how). Padahal yang diharapkan, peserta didik tidak saja tahu apa (ranah
kognitif), tetapi juga tahu mengapa (ranah afektif), dan tahu bagaimana
(ranah psikomotor) dengan proses pembelajaran yang “memberdayakan”.
Belajar model demikian, mengharapkan produk lulusannya dapat
menghasilkan insan yang produktif, inovatif, kreatif, dan afektif yang
di dalamnya mencakup penguasaan aspek pengetahuan, sikap dan
keterampilan secara terpadu dan seimbang, baik aspek soft skill maupun
hard skill. Ringkasnya, pendidikan dapat menghasilkan manusia cerdas dan
berkarakter.
Penerapan pendekatan pembelajaran saintifik, meniscayakan kehadiran guru
yang tidak saja sabar dan telaten, tetapi juga cerdas dan kreatif
berkolaborasi dengan peserta didik untuk menciptakan kondisi
pembelajaran yang memunginkan mereka mampu merumuskan masalah dengan
baik. Para guru diharapkan mampu menfasilitasi peserta didik berlatih
berfikir analitis, bukan berpikir mekanis.
Melalui pertanyaan mengapa dan bagaimana, peserta didik dirangsang untuk
dapat menyelesaikan masalah melalui proses yang lebih panjang. Mereka
diajarkan bagaimana menarik kesimpulan, bukan hanya menerima pengetahuan
(transfer of knowledge) dengan cara mekanis seperti mendengarkan atau
menghafal. Hal ini bukan berarti kegiatan mendengarkan ceramah dan
menghafal itu tidak penting, namun yang hendak saya katakan adalah
proses berfikir ilmiah penting ditonjolkan dalam proses pembelajaran,
karena pengetahuan itu bukan dogma, namun pengetahuan itu terkait erat
dengan aktivitas ilmiah. Cara kerja ilmiah, sudah barang tentu mengikuti
prinsip-prinsip berfikir ilmiah, apakah itu bersifat induktif atau
deduktif.
Untuk itulah, agar penerapan 5M dapat diterapkan secara efektif baik
oleh para guru atau siapapun yang kegiatannya berhubungan dengan
aktivitas pembelajaran, akan saya sharing pengalaman itu. Hal ini sama
sekali saya bukan bermaksud menggurui loh. Baiklah, kelima langkah
proses pembelajaran saintifik itu dapat saya deskripsikan sebagai
berikut:
Langkah ke-1: Mengamati (observing).
Mengamati berkaitan dengan aktivitas panca indera manusia yang
dianugerahkan oleh Tuhan untuk mengamati obyek belajar secara bermakna
(meaningfull learning). Karena itu, untuk memudahkan pembelajaran, di
awal kegiatan pembelajaran dipandang penting untuk mendemonstrasikan
obyek belajar yang menarik dan bermanfaat, tentu dipilih obyek belajar
yang relevan dengan tema belajar. Obyek itu tidak harus mewah atau
mahal, sederhana asalkan mudah digunakan dan menarik.
Obyek belajar sebaiknya yang menantang peserta didik untuk bertanya dan
merangsang rasa ingin tahu mereka. Peserta didik diberi kesempatan
terlibat untuk melakukan pengamatan (observasi) melalui panca inderanya,
seperti mengamati gambar animasi, menyentuh obyek tiruan model bagian
tubuh manusia (torso), mengamati aneka jenis dedaunan di halaman
sekolah, mengamati transaksi jual beli di kantin sekolah, mengamati
aktivitas petani, peternak, polisi, pasar, tumpukan sampah, dan masih
banyak lagi. Jika obyek atau fenomena yang diamati sulit dijangkau,
dapat digunakan model tiruannya, bisa dirupakan dalam bentuk rekaman
video-audio, gambar animasi, globe, dan lain sebagainya.
Cara penyajiannya bisa menggunakan model perbandingan. Katakanlah
peserta didik diminta untuk mengamati dua gambar/foto. Satu gambar
menampilkan foto mushalla yang kotor dan satunya lagi menampilkan foto
mall yang bersih. Dengan mengamati dua gambar yang kontras, diharapkan
muncul sejumlah pertanyaan kritis dan rasa ingin tahu untuk belajar
mempelajarinya.
Langkah ke-2: Menanya (Questioning).
Kemampuan bertanya yang baik merupakan indikasi bahwa kemampuan verbal
seseorang telah berkembang dengan baik. Acapkali, jawaban yang baik
karena dirangsang oleh pertanyaan yang baik. Karena itu, keberanian dan
kemampuan bertanya penting untuk ditumbuhkembangkan. Setiap pertanyaan,
akan mendorong munculnya respon balik berupa tanggapan verbal, baik oleh
guru atau peserta didik secara kreatif, bahkan mungkin guru tidak
menyangka akan mendapatkan jawaban baru yang mengkayakan dari para
peserta didiknya. Misalnya pertanyaan: “Mengapa bensin (premium) selalu
habis meskipun harganya naik?, atau “mengapa ada orang miskin dan ada
orang yang kaya?.
Selain untuk membangkitkan rasa ingin tahu, bertanya berfungsi untuk
melatih peserta didik berargumentasi sesuai dengan kapasitasnya, belajar
menerima perbedaan pendapat, merangsang peserta didik untuk berpikir
ulang, dan sekaligus belajar bagaimana sopan santun dalam bertanya atau
merespon pertanyaan dengan baik.
Langkah ke-3: Mencoba (Experimenting)
Hasil belajar akan terekam kuat dalam memori peserta didik, apabila
mereka diberi kesempatan untuk melakukan, mencoba, atau mengalami. Hal
ini tentu sangat berbeda dengan hasil belajar karena sekedar
mendengarkan atau diberitahu oleh orang lain. Perbuatan mencoba itu
dapat diwujudkan dalam bentuk kegiatan eksperimen. Misalnya, peserta
didik diminta untuk melakukan pengukuran terhadap perbedaan kecepatan
perputaran kipas angin yang terbuat dari bahan kertas tipis, kertas
karton, seng, atau benda lain di halaman sekolah.
Dengan melakukan percobaan semacam itu, selain peserta didik merasa
senang, mereka dapat belajar sambil mengalami. Sudah barang tentu,
setiap percobaan perlu dipersiapkan sebelum pembelajaran berlangsung dan
dirumuskan dengan baik dalam dokumen Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP). Membuat RPP adalah tugas guru, bukan tugas pemerintah yang
terkait dalam bidang pendidikan nasional. Mengapa? Karena gurulah yang
paling tahu situasi dan kondisi sekolah masing-masing, jadi RPP tidak
perlu distandarkan, kecuali hanya prinsip-prinsip atau komponen-komponen
penting RPP-nya.
Langkah ke-4: Menalar (associating).
Menalar dalam pengertian ini adalah padanan dari istilah associating
dalam bahasa Inggris, bukan kata reasoning. John M. Echols dan Hasan
Shadily (1995: 469) dalam bukunya Kamus Inggris-Indonesia menerjemahkan
kata reasoning dengan pemikiran atau pertimbangan. Namun penalaran yang
dimaksudkan di sini lebih dekat dengan padanan dari kata “associating”,
yang merujuk pada teori belajar asosiasi (pembelajaran asosiatif).
Sebuah Modul Pelatihan Kurikulum 2013 menjelaskan, bahwa esensi istilah
asosiasi ini merujuk pada kemampuan mengelompokkan beragam ide dan
mengasosiasikan beragam peristiwa yang kemudian mamasukkannya menjadi
penggalan memori (Kemendikbud, 2013: 215). Pengalaman-pengalaman yang
tersimpan di memori otak itu berelasi atau berinteraksi dengan
pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses inilah yang dikenal
sebagai asosiasi atau menalar.
Bagaimana mempraktikkannya? Peserta didik dilatih untuk menghubungkan
antara satu obyek/kejadian dengan objek/kejadian lain, sehingga hubungan
antara beberapa variabel menjadi jelas, baik bersifat induktif atau
deduktif. Misalnya penalaran induksi sebab-akibat seperti: “berusaha
keras, berdo’a, dan tidak berputus-asa, adalah faktor-faktor pendorong
kesuksesan hidup seseorang”.
Langkah ke-5: Mengkomunikasikan (Communicating)
Dalam bentuk sederhana, mengkomunikasikan berarti mempresentasikan atau
menunjukkan hasil pekerjaannya kepada publik, secara lisan atau tulisan,
atau bentuk karya lain sehingga mendapat respon yang lebih luas. Dalam
ruang terbatas, peserta didik cukup menyajikan kesimpulan hasil
pekerjaannya di hadapan teman-temannya di dalam kelas.
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, para guru
dapat memanfaatkan kecanggihan itu untuk mengkomunikasikan karya-karya
terbaik peserta didiknya di dunia maya, sehingga bisa direspon oleh
pembaca yang lebih luas. Misalnya, karya mereka dipublikasikan di Blog
kompasiana.com, menarik dan bermanfaat bukan?.
Itulah sekedar sharing dari pengalaman selama mendampingi mereka. Semoga
para guru kita dapat mengambil pelajaran dan terus berbenah diri untuk
memperbaiki mutu SDM Indonesia. Pendekatan saintifik, merupakan salah
satu pendekatan pembelajaran yang mendorong untuk menghasilkan mutu
lulusan yang produktif, inovatif, kreatif dan berkarakter. Semoga
bermanfaat!.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/m_yunus/implementasi-pembelajaran-saintifik-5m_55e6c43d9297737a14185a74
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/m_yunus/implementasi-pembelajaran-saintifik-5m_55e6c43d9297737a14185a74
Salah satu kunci utama
keberhasilan pendidikan di Indonesia adalah terletak pada kualitas
pendidik atau gurunya dengan kurikulum sebagai seperangkat desain
penunjangnya. Seberapa baik kurikulum, namun jika gurunya tidak mampu
menerapkannya dengan baik, maka tujuan kurikulum sulit tercapai. Karena
itu, perlu penguatan di lapangan tentang penerapan regulasi pendidikan
yang menuntut setiap guru memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi
pedagogik, profesional, kepribadian dan sosial.
Tulisan ini hendak mendekripsikan bagaimana kompetensi guru dalam aspek
pedagogik dipraktikkan di dalam proses pembelajaran. Kebetulan pada hari
itu (1/9/2015), saya diminta menjadi instruktur dalam kegiatan Peer
Teaching Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) di Hotel Asida, Kota
Batu Malang. Kegiatan itu diselenggarakan oleh salah satu perguruan
tinggi negeri di Jawa Timur yang berperan sebagai salah satu Lembaga
Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) di wilayahnya.
Berdasarkan pengalaman itu, tulisan ini saya fokuskan pada pendekatan
pembelajaran saintifik setelah mengamati praktik para guru kelas di
forum itu, ketika mereka menerapkan proses pembelajaran dengan langkah
5M (Mengamati, Menanya, Mencoba, Menalar, dan Mengkomunikasikan).
Implementasi Pendekatan Saintifik
Di kelas F3 yang saya dampingi, ada 11 peserta sedang berlatih mengajar
dengan pendekatan saintifik secara bergantian. Pendekatan pembelajaran
saintifik merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang menekankan
pentingnya penggunaan proses berfikir ilmiah sesuai dengan tingkat
perkembangan anak. Peserta didik didorong untuk mencari tahu dari
berbagi sumber informasi, bukan hanya diberi tahu. Untuk itu, mereka
dilibatkan dalam proses pembelajaran melalui pengamatan, menanya,
mencoba, menalar, dan mengkomunikasikan. Untuk memudahkannya,
langkah-langkah pembelajaran yang sejalan dengan semangat pendekatan
saintifik (scientific approach) dinamakan dengan 5M.
Berdasarkan pengamatan dalam forum itu, terlihat penerapan pendekatan
saintifik belum begitu tampak menonjol. Mungkin mereka masih belum
terbiasa dengan menekankan pentingnya mendorong peserta didik terlibat
dalam proses mencari tahu, sampai mereka dapat menyimpulkan atau
menemukan pengetahuan sendiri dari tema yang sedang dipelajarinya
(inquiry or discovery learning).
Sungguh pun begitu, para peserta pelatihan relatif sudah mampu
menerapkan pembelajaran yang menyenangkan, atau apa yang dikenal dengan
pembelajaran PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan
Menyenangkan). Selingan berupa nyanyian atau permainan sudah muncul,
tepuk tangan meriah di sela-sela pembelajaran juga sudah tampak. Ucapan
bagus, pinter, hebat, dan sejenisnya yang memotivasi juga terlihat dalam
proses pembelajaran. Beberapa media seperti gambar, bola mainan,
tumbuhan, poster, media tempel dan semacamnya juga sudah diperagakan.
Namun, para guru yang tampil dalam forum itu, masih belum menunjukkan
proses pembelajaran saintifik secara optimal. Sebagian guru masih
menekankan transfer pengetahuan (memberi tahu), hal ini terlihat dari
pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam kelas yang sebagian besar masih
menekankan pertanyaan apa (what), bukan mengapa (why) dan bagaimana
(how). Padahal yang diharapkan, peserta didik tidak saja tahu apa (ranah
kognitif), tetapi juga tahu mengapa (ranah afektif), dan tahu bagaimana
(ranah psikomotor) dengan proses pembelajaran yang “memberdayakan”.
Belajar model demikian, mengharapkan produk lulusannya dapat
menghasilkan insan yang produktif, inovatif, kreatif, dan afektif yang
di dalamnya mencakup penguasaan aspek pengetahuan, sikap dan
keterampilan secara terpadu dan seimbang, baik aspek soft skill maupun
hard skill. Ringkasnya, pendidikan dapat menghasilkan manusia cerdas dan
berkarakter.
Penerapan pendekatan pembelajaran saintifik, meniscayakan kehadiran guru
yang tidak saja sabar dan telaten, tetapi juga cerdas dan kreatif
berkolaborasi dengan peserta didik untuk menciptakan kondisi
pembelajaran yang memunginkan mereka mampu merumuskan masalah dengan
baik. Para guru diharapkan mampu menfasilitasi peserta didik berlatih
berfikir analitis, bukan berpikir mekanis.
Melalui pertanyaan mengapa dan bagaimana, peserta didik dirangsang untuk
dapat menyelesaikan masalah melalui proses yang lebih panjang. Mereka
diajarkan bagaimana menarik kesimpulan, bukan hanya menerima pengetahuan
(transfer of knowledge) dengan cara mekanis seperti mendengarkan atau
menghafal. Hal ini bukan berarti kegiatan mendengarkan ceramah dan
menghafal itu tidak penting, namun yang hendak saya katakan adalah
proses berfikir ilmiah penting ditonjolkan dalam proses pembelajaran,
karena pengetahuan itu bukan dogma, namun pengetahuan itu terkait erat
dengan aktivitas ilmiah. Cara kerja ilmiah, sudah barang tentu mengikuti
prinsip-prinsip berfikir ilmiah, apakah itu bersifat induktif atau
deduktif.
Untuk itulah, agar penerapan 5M dapat diterapkan secara efektif baik
oleh para guru atau siapapun yang kegiatannya berhubungan dengan
aktivitas pembelajaran, akan saya sharing pengalaman itu. Hal ini sama
sekali saya bukan bermaksud menggurui loh. Baiklah, kelima langkah
proses pembelajaran saintifik itu dapat saya deskripsikan sebagai
berikut:
Langkah ke-1: Mengamati (observing).
Mengamati berkaitan dengan aktivitas panca indera manusia yang
dianugerahkan oleh Tuhan untuk mengamati obyek belajar secara bermakna
(meaningfull learning). Karena itu, untuk memudahkan pembelajaran, di
awal kegiatan pembelajaran dipandang penting untuk mendemonstrasikan
obyek belajar yang menarik dan bermanfaat, tentu dipilih obyek belajar
yang relevan dengan tema belajar. Obyek itu tidak harus mewah atau
mahal, sederhana asalkan mudah digunakan dan menarik.
Obyek belajar sebaiknya yang menantang peserta didik untuk bertanya dan
merangsang rasa ingin tahu mereka. Peserta didik diberi kesempatan
terlibat untuk melakukan pengamatan (observasi) melalui panca inderanya,
seperti mengamati gambar animasi, menyentuh obyek tiruan model bagian
tubuh manusia (torso), mengamati aneka jenis dedaunan di halaman
sekolah, mengamati transaksi jual beli di kantin sekolah, mengamati
aktivitas petani, peternak, polisi, pasar, tumpukan sampah, dan masih
banyak lagi. Jika obyek atau fenomena yang diamati sulit dijangkau,
dapat digunakan model tiruannya, bisa dirupakan dalam bentuk rekaman
video-audio, gambar animasi, globe, dan lain sebagainya.
Cara penyajiannya bisa menggunakan model perbandingan. Katakanlah
peserta didik diminta untuk mengamati dua gambar/foto. Satu gambar
menampilkan foto mushalla yang kotor dan satunya lagi menampilkan foto
mall yang bersih. Dengan mengamati dua gambar yang kontras, diharapkan
muncul sejumlah pertanyaan kritis dan rasa ingin tahu untuk belajar
mempelajarinya.
Langkah ke-2: Menanya (Questioning).
Kemampuan bertanya yang baik merupakan indikasi bahwa kemampuan verbal
seseorang telah berkembang dengan baik. Acapkali, jawaban yang baik
karena dirangsang oleh pertanyaan yang baik. Karena itu, keberanian dan
kemampuan bertanya penting untuk ditumbuhkembangkan. Setiap pertanyaan,
akan mendorong munculnya respon balik berupa tanggapan verbal, baik oleh
guru atau peserta didik secara kreatif, bahkan mungkin guru tidak
menyangka akan mendapatkan jawaban baru yang mengkayakan dari para
peserta didiknya. Misalnya pertanyaan: “Mengapa bensin (premium) selalu
habis meskipun harganya naik?, atau “mengapa ada orang miskin dan ada
orang yang kaya?.
Selain untuk membangkitkan rasa ingin tahu, bertanya berfungsi untuk
melatih peserta didik berargumentasi sesuai dengan kapasitasnya, belajar
menerima perbedaan pendapat, merangsang peserta didik untuk berpikir
ulang, dan sekaligus belajar bagaimana sopan santun dalam bertanya atau
merespon pertanyaan dengan baik.
Langkah ke-3: Mencoba (Experimenting)
Hasil belajar akan terekam kuat dalam memori peserta didik, apabila
mereka diberi kesempatan untuk melakukan, mencoba, atau mengalami. Hal
ini tentu sangat berbeda dengan hasil belajar karena sekedar
mendengarkan atau diberitahu oleh orang lain. Perbuatan mencoba itu
dapat diwujudkan dalam bentuk kegiatan eksperimen. Misalnya, peserta
didik diminta untuk melakukan pengukuran terhadap perbedaan kecepatan
perputaran kipas angin yang terbuat dari bahan kertas tipis, kertas
karton, seng, atau benda lain di halaman sekolah.
Dengan melakukan percobaan semacam itu, selain peserta didik merasa
senang, mereka dapat belajar sambil mengalami. Sudah barang tentu,
setiap percobaan perlu dipersiapkan sebelum pembelajaran berlangsung dan
dirumuskan dengan baik dalam dokumen Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP). Membuat RPP adalah tugas guru, bukan tugas pemerintah yang
terkait dalam bidang pendidikan nasional. Mengapa? Karena gurulah yang
paling tahu situasi dan kondisi sekolah masing-masing, jadi RPP tidak
perlu distandarkan, kecuali hanya prinsip-prinsip atau komponen-komponen
penting RPP-nya.
Langkah ke-4: Menalar (associating).
Menalar dalam pengertian ini adalah padanan dari istilah associating
dalam bahasa Inggris, bukan kata reasoning. John M. Echols dan Hasan
Shadily (1995: 469) dalam bukunya Kamus Inggris-Indonesia menerjemahkan
kata reasoning dengan pemikiran atau pertimbangan. Namun penalaran yang
dimaksudkan di sini lebih dekat dengan padanan dari kata “associating”,
yang merujuk pada teori belajar asosiasi (pembelajaran asosiatif).
Sebuah Modul Pelatihan Kurikulum 2013 menjelaskan, bahwa esensi istilah
asosiasi ini merujuk pada kemampuan mengelompokkan beragam ide dan
mengasosiasikan beragam peristiwa yang kemudian mamasukkannya menjadi
penggalan memori (Kemendikbud, 2013: 215). Pengalaman-pengalaman yang
tersimpan di memori otak itu berelasi atau berinteraksi dengan
pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses inilah yang dikenal
sebagai asosiasi atau menalar.
Bagaimana mempraktikkannya? Peserta didik dilatih untuk menghubungkan
antara satu obyek/kejadian dengan objek/kejadian lain, sehingga hubungan
antara beberapa variabel menjadi jelas, baik bersifat induktif atau
deduktif. Misalnya penalaran induksi sebab-akibat seperti: “berusaha
keras, berdo’a, dan tidak berputus-asa, adalah faktor-faktor pendorong
kesuksesan hidup seseorang”.
Langkah ke-5: Mengkomunikasikan (Communicating)
Dalam bentuk sederhana, mengkomunikasikan berarti mempresentasikan atau
menunjukkan hasil pekerjaannya kepada publik, secara lisan atau tulisan,
atau bentuk karya lain sehingga mendapat respon yang lebih luas. Dalam
ruang terbatas, peserta didik cukup menyajikan kesimpulan hasil
pekerjaannya di hadapan teman-temannya di dalam kelas.
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, para guru
dapat memanfaatkan kecanggihan itu untuk mengkomunikasikan karya-karya
terbaik peserta didiknya di dunia maya, sehingga bisa direspon oleh
pembaca yang lebih luas. Misalnya, karya mereka dipublikasikan di Blog
kompasiana.com, menarik dan bermanfaat bukan?.
Itulah sekedar sharing dari pengalaman selama mendampingi mereka. Semoga
para guru kita dapat mengambil pelajaran dan terus berbenah diri untuk
memperbaiki mutu SDM Indonesia. Pendekatan saintifik, merupakan salah
satu pendekatan pembelajaran yang mendorong untuk menghasilkan mutu
lulusan yang produktif, inovatif, kreatif dan berkarakter. Semoga
bermanfaat!.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/m_yunus/implementasi-pembelajaran-saintifik-5m_55e6c43d9297737a14185a74
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/m_yunus/implementasi-pembelajaran-saintifik-5m_55e6c43d9297737a14185a74
0 komentar:
Posting Komentar